Oleh : Ali Syarief
ANAK bangsa ini harus semakin awas karena sedang digiring kembali memasuki era yang diwarnai hegemoni politik dan rezim kontrol yang sentralistis. Ruang pengawasan akan mengecil, bahkan bukan mustahil suara rakyat akan diberangus di DPR.
Kekhawatiran itu muncul dengan terbentuknya Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi, yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga adalah presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan.
Itu berarti SBY tidak hanya memimpin lembaga eksekutif sebagai presiden, tetapi juga memimpin hampir 75% suara di DPR yang dimiliki enam partai koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB).
Tiga paragrap di atas tersebut, saya kutip dari tajuk rencana salah satu media nasional kita. Saking kesalnya membaca hal tersebut kemudian saya menulis status seperti ini ; “Menyimak Tajuk di Media-Media, Ulasan2 Para Akademisi, dan Praktek kegiatan Perpolitikan kita, berkaitan dengan terbentuknya Sekber Partai Koalisi, ini memberi isyarat bahwa kita tidak memahami fatsoen system Politik Presidential/Parlemeneter.
Atau ada hiden aganda apa?. Kasihan rakyat, terus menerus dibawa ke alam pembodohan”.
Saya ingin mengajak anda untuk bagaimana memahami sistem presidential, supaya kemudian kita bisa bersikap bagaimana memahami pembentukan Sekber Partai Koalisi tersebut. Berikut saya kutip tulisan Guru politik saya, sebagai berikut;
System Presidensial. :
1. Dalam sistem presidensial obyek utama yang diperebutkan dalam pemilu adalah presiden (kepala negara, KN, sekaligus kepala pemerintahan, KP). Presiden selaku KP berhak membentuk kabinet. Kabinet dalam sistem presidensial biasa disebut ‘‘kabinet presidensial’’.
2. Presiden dipilih rakyat secara langsung oleh rakyat. Pilihan rakyat terhadap presiden adalah pilihan atas visi, program yang dianggap sesuai dengan aspirasi rakyat, artinya bukan pilihan terhadap partai atau ideologi partai. dalam pemilu presiden, rakyat/konstituen pemilih memilih figur (figur calon presiden/wakil presiden, yang kendati diusulkan dan/atau dari partai namun bukan memilih partai).
Pun dalam pemilu legislatif (dilaksanakan setelah pemilu presiden ), penilaian konstituen pemilih lebih kepada kualitas figur ketimbang ideologi partai. Sistem presidensial disebut juga sebagai “Sistem Tradisi Partai Lemah”
Catatan:
Partai lebih sebagai ‘event organizer’ (yang mencalonkan presiden) ketimbang sebagai pembuat kebijakan.
3. Calon presiden yang meraih suara pemilih terbanyak di pemilu, sekurangnya 50% + 1 dari seluruh jumlah pemilih, dinyatakan sebagai pemenang, biasa disebut sebagai “Presiden Terpilih”.
4. Selaku KP, presiden terpilih berhak membentuk kabinet (eksekutif) dipimpin presiden. Kabinet bertanggung jawab pada presiden.
5. Selaku pemenang, di era pemerintahannya, presiden wajib melaksanakan visi dan program seperti yang telah dijanjikan dalam pemilu karena, visi dan program yang dikampanyekan dalam pemilu dan disetujui (mayoritas) rakyat adalah “KONTRAK SOSIAL” (Rousseau) dalam sistem presidensial.
Fatsoen:
a. Setelah salah satu capres memenangkan pemilu presiden, maka perdebatan atas visi/misi/program dan/atau terhadap figur presiden terpilih, tidak ada lagi. Semua pihak menghormati pilihan rakyat, terlepas dari semula setuju atau tidak setuju pada figur calon presiden.
b. Bagi mereka yang sebelumnya tidak setuju/tidak senang dengan visi dan program presiden terpilih harus menunggu sampai masa jabatannya presiden terpilih berakhir. Visi dan program yang berbeda bisa dipertarungkan pada pemilu presiden berikutnya.
6. Dalam sistem presidensial, pencalonan presiden harus disertai dengan pencalonan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan. Calon presiden memilih dari kelompoknya sendiri calon yang memiliki kesamaan pandangan/visi dan bisa bekerja sama bila dirinya terpilih dalam pemilu. Wakil presiden adalah mewakili presiden dan/atau diangkat menjadi presiden bila oleh satu dan lain sebab presiden tidak bisa lagi melaksanakan tugas.
Fatsoen:
• Tidak boleh ada ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan. Karenanya wakil presiden harus menempatkan diri layaknya ‘ban serep’ yang digunakan bila memang diperlukan.
7. Berbeda dengan sistem parlementer yang menempatkan parlemen sebagai ajang perdebatan tak kenal henti antara faksi PP dengan PO, dalam sistem presidensial tidak ada pro kontra terhadap ‘‘Kontrak Sosial’’. Kewajiban parlemen/legislatif dalam sistem presidensial adalah ‘menterjemahkan ‘‘Kontrak Sosial’’ ke dalam undang-undang yang dengan itu visi/program/janji presiden menjadi mungkin untuk dilaksanakan. Perdebatan di parlemen dalam sistem presidensial lebih pada mempertajam materi “Kontrak Sosial”. Artinya dalam sistem presidensial TIDAK DIKENAL istilah Partai Oposisi (PO)! (Bagaimana mungkin parlemen meng-‘oppose’ “Kontrak Sosial” yang notabene adalah pilihan mayoritas rakyat dalam suatu negara. Atas nama rakyat yang mana anggota parlemen atau faksi partai tertentu di parlemen menyatakan ketidak setujuan atas materi “Kontrak Sosial”?)
Fatsoen:
a. Dalam sistem presidensial, tidak ada kaitan antara besarnya suara yang diperoleh presiden teripilih dengan besar atau kecilnya suara yang diperoleh partai pengusung presiden terpilih di parlemen. Fungsi parlemen adalah mendukung sekaligus mengontrol kinerja presiden agar dalam melaksanakan tugasnya presiden terpilih tidak menyimpang dari materi “KONTRAK SOSIAL”.
8. Kabinet presidensial adalah kabinet ahli yang tidak berorientasi pada partai/ideologi (zaken kabinet). Anggota kabinet adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat.
9. Pilihan terhadap sistem presidensial yang ditandai dengan iklim politik lebih sejuk dan tenang di parlemen, a.l. untuk memperoleh iklim politik yang s t a b i l (berbeda makna dengan s t a t i s ). Fungsi parlemen sebagai unsur pengontrol dan/atau pengawas kinerja presiden agar tidak menyimpang dari ‘‘Kontrak Sosial’’ sejatinya adalah fungsi checks and balances dalam sistem presidensial.
C. Sistem ‘Presidensial kuasi Parlementer’.
(UUD 1945 Amendemen IV dan Mengacu pada Pemilu 2004 dan 2009)
(UUD 1945 Amendemen IV dan Mengacu pada Pemilu 2004 dan 2009)
1. Dalam sistem ‘presidensial kuasi parlementer’ obyek utama yang diperebutkan dalam pemilu adalah anggota legislatif dan presiden (kepala negara, KN, sekaligus kepala pemerintahan, KP).
2. Dalam sistem ‘presidensial kuasi parlementer’, pemilu presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif.
Dalam pemilu legislatif anggota DPR (mewakili partai), DPD (mewakili partai dan/atau independen), DPRD Provinsi (mewakili partai), dan DPRD Kabupaten/Kota (mewakili partai), dipilih rakyat secara langsung dan dilaksanakan dalam satu masa pemilihan. Calon legislatif a.n. partai berkampanye tentang visi/misi/program partainya bila dirinya terpilih.
Catatan:
a. Tidak jelas adakah terjadi “Kontrak Sosial” antara anggota legislatif dengan konstituennya, karena legislatif tidak berkait langsung dengan eksekutif cq. Presiden. Legislatif tidak mungkin menjamin pelaksanaan janji-janji yang dikampanyekan dalam pemilu karena pelaksana eksekutif di tangan presiden.
b. Presiden dan wakil presiden berasal dari kubu berbeda hampir selalu menuai hubungan kerja yang kurang harmonis. Ketika pres-wapres incumbent mencalonkan diri masing-masing sebagai presiden sesungguhnya telah terjadi komplikasi hubungan kerja di sisa masa jabatan.
c. Tidak jelas dengan melihat dominannya peran legislatif di satu sisi sementara di sisi lain presiden dan wakil presiden terpilih didukung mayoritas suara pemilih yang adalah mayoritas rakyat, siapa atau mana yang lebih dominan. Apabila suara/aspirasi legislatif (DPR) lebih kuat adakah presiden akan melaksanakan aspirasi dimaksud kendati bertentangan dengan janji presiden yang dikampanyekan dalam pemilu.
d. Pemilu presiden masih kental diwarnai aspirasi/ideologi partai. Capres/cawapres bisa berasal dari kubu berbeda bahkan dengan landasan ideologi yang bertentangan sekalipun. Presiden dan wakil presiden bisa dan dimungkinkan untuk menjabat sebagai fungsionaris partai
e. Tidak jelas adakah sistem presidensial kuasi parlementer masih bisa dikategorikan sebagai “Sistem Tradisi Partai Lemah” ataukah lebih tepat disebut sebagai ‘‘Sistem Tradisi Partai Kuat’’.
3. Dalam pemilu legislatif, kendati ada partai meraih suara pemilih lebih dari 50% + 1, atau partai-partai melakukan koalisi untuk meraih suara sekurang-kurangnya 50% + 1, tidak bisa dinyatakan sebagai partai pemenang karena hasil perolehan suara pemilu presiden sangat mungkin berbeda bahkan bertolak belakang.
4. Selaku KP, presiden terpilih berhak membentuk kabinet (eksekutif) dipimpin presiden. Presiden membentuk kabinet berdasarkan masukan (saran) partai tergabung dalam koalisi atau ‘partai bebas’ namun umumnya mengakomodasi kepentingan partai. Dengan cara ini kabinet yang terbentuk adalah kabinet koalisi yang orientasi tanggung jawabnya terbelah, ke presiden dan ke partai yang mencalonkan.
Catatan:
a. Dalam masa tugas DPR bisa meminta Presiden untuk menyampaikan penjelasan dan/atau pertanggungjawaban kebijakan layaknya PM/Menteri dalam kabinet parlementer.
b. Sejauh ini, presiden biasa menugaskan menteri untuk ‘menghadapi’ DPR. Sikap presiden yang demikian selalu mengundang kontroversi.
c. Pemahaman di Indonesia, lebih banyak anggota koalisi lebih kuat kabinet (sejak Bung Karno memperkenalkan istilah “Kabinet Gotong Royong”) penyebabnya, orientasi partai yang lebih mementingkan kekuasaan ketimbang konsistensi pada visi atau program.
5. Tidak mudah bagi presiden teripilih melaksanakan visi dan program seperti yang telah dijanjikan dalam pemilu kendati jelas telah disetujui (mayoritas) rakyat, karena mudah terganjal oleh konspirasi partai oposisi di parlemen/DPR. Tidak dikenal istilah “KONTRAK SOSIAL” (Rousseau) yang ada adalah istilah “KONTRAK POLITIK” (yang makna dan artinya tidak jelas).
Catatan:
• Dalam sistem presidensial kuasi parlementer, setelah salah satu capres memenangkan pemilu presiden, berdasarkan ‘pemahaman’ sebagai bagian dari demokrasi, gugatan dan/atau perdebatan atas visi/misi/program presiden terpilih atau terhadap figur presiden terpilih bisa terus berlanjut. Kompetitor yang kalah pemilu bisa menyatakan diri sebagai “PARTAI OPOSISI”.
6. Dalam sistem presidensial kuasi parlementer, dimungkinkan pasangan capres/cawapres berasal dari kubu berbeda dan/atau berseberangan dalam ideologi. Capres/cawapres boleh bukan merupakan satu kesatuan, boleh koalisi. Selanjutnya pres/wapres terpilih bisa membagi tugas berdasarkan kesepakatan awal sebelum terbentuknya koalisi.
Catatan :
Dimungkinkan adanya ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan. Wakil Presiden bisa lebih kuat dari presidennya.
7. Seperti layaknya sistem parlementer yang menempatkan parlemen sebagai ajang perdebatan tak kenal henti antara faksi PP dengan PO, dalam sistem presidensial kuasi parlementer terbuka ruang bagi terjadinya pro-kontra terhadap ‘‘Kontrak Sosial’’ (sebagai misal, bagaimana nanti legislatif menyikapi kebijakan ekonomi yang di nilai ‘neolib’). Tidak jelas kewajiban parlemen/legislatif dalam sistem presidensial kuasi parlementer adakah harus ‘menterjemahkan ‘‘Kontrak Sosial’’ ke dalam undang-undang yang dengan itu visi/program/janji presiden menjadi mungkin untuk dilaksanakan atau presiden harus melaksanakan kehendak mayoritas suara parlemen.
Catatan:
a. Sebagaimana halnya sistem presidensial, sistem presidensial kuasi parlementer juga berlaku ketidakadaan kaitan antara besarnya suara yang diperoleh presiden teripilih dengan besar atau kecilnya suara yang diperoleh partai pengusung presiden terpilih di parlemen.
b. Sistem presidensial kuasi parlementer membuka lebar ruang bagi partai untuk menjadi opsosisi (PO)! Padahal apa logikanya parlemen meng-‘oppose’ “Kontrak Sosial” yang notabene adalah pilihan mayoritas rakyat yang dalam fatsoen demokrasi harus dianggap dan diakui sebagai pilihan seluruh rakyat. Lalu atas nama siapa anggota parlemen atau faksi partai tertentu di parlemen menyatakan ketidak setujuan atas materi “Kontrak Sosial”?
8. Kabinet dalam sistem presidensial kuasi parlemnter tidak diharuskan sebagai kabinet ahli. Orientasi menteri bisa tetap pada partai.
9. Tidak jelas mengapa dipilih sistem presidensial kuasi parlementer, yang terbukti selalu menghadirkan iklim politik kurang sehat dan acapkali menjurus panas. Artinya produk sistem presidensial kuasi parlementer tidak menghadirkan iklim politik d i n a m i s juga tidak menghadirkan iklim politik s t a b i l. Tidak pula jelas adakah checks and balances dalam sistem semacam itu. (Hendarmin Ranadhireksa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentarnya:)